Mindfulness Dan Inklusivitas Johnson and Johnson Beri Ruang Bagi Tiap Individu

Lifestyle

Anjanesia.com – Aksesoris dan kerajinan tangan unik diletakkan berderet di meja berwarna jingga di suatu sudut kanan sebuah ruangan. Ada yang berbentuk totebag, jaket, tas punggung, dan dompet. Deretan aksesoris dan kerajinan tangan itu langsung menarik perhatian orang kala kaki melangkah masuk ke ruang Friendly Room, Harris Suites FX Jakarta, Kamis (15/12).

Untuk sesaat, kerajinan tangan itu mungkin tampak sama dengan berbagai macam produk UMKM yang sering kita lihat di pameran. Namun, ada satu keunggulan produk ini: mereka dibuat dengan baik oleh tangan teman-teman disabilitas.

Pameran kecil ini merupakan kerja sama antara Johnson and Johnson dan Precious One. Perusahaan multinasonal asal Amerika Serikat yang bergerak di bidang perawatan kesehatan itu sedang mengadakan year-end media gathering bertajuk ‘Day of Mindfulness and Inclusivity’.

Sesuai namanya, melalui acara tersebut, Johnson and Johnson berusaha menunjukkan perannya dalam membentuk lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi seluruh individu berbeda. Perusahaan yang telah berdiri sejak abad ke-19 ini ingin menciptakan suatu lingkungan yang inklusif dan mengajak serta orang-orang dari berbagai latar belakang untuk bisa bergabung. Mereka meyakini itu dapat dicapai melalui strategi DEI.

“Strategi DEI atau diversity, equality, and inclusion itu telah membantu kami untuk membangun tim yang beragam yang menghargai perspektif, latar belakang, dan pengalaman hidup yang berbeda,” ungkap Devy Yheanne, Country Leader of Communications and Public Affairs of Johnson & Johnson Pharmaceutical Indonesia and Malaysia, pada sesi kumpul bersama media.

Karena itulah, Johnson and Johnson berkolaborasi dengan Precious One kali ini untuk memberikan ruang bagi para penyandang disabilitas. Tujuannya adalah tentu agar setiap orang, terlepas dari kekurangannya, tetap memiliki kesempatan untuk berkarya sesuai kemampuan mereka.

Perusahaan yang mulai berdiri pada 1886 ini juga memiliki program khusus untuk menunjukkan komitmen mereka dalam membentuk ruang kerja yang setara nan inklusif. Program ini bernama Employee Resource Group (ERG), sebuah program volunteer yang dipimpin oleh karyawan senior Johnson and Johnson.

“ERG kami di seluruh perusahaan diposisikan secara unik untuk memberikan wawasan utama yang pada akhirnya mendorong hasil yang lebih baik atas nama karyawan, pasar, dan komunitas,” ujar Devy.

Di Indonesia, ada empat jenis ERG yang menjadi fokus utama saat ini. Seluruh karyawan dari berbagai latar belakang dan usia dapat secara aktif mengikuti program-program bernama GenNOW, WLI, WiSTEM2D, dan ADA.

GenNOW merupakan akronim dari GenerationNow. Seperti namanya, kegiatan ini berfokus memberikan pelatihan, inspirasi, dan keterampilan bagi siapapun yang tertarik untuk berkembang. Lalu ada WLI, singkatan dari Woman Leadership and Inclusion. Melalui WLI, Perusahaan berusaha mewujudkan area kerja yang mendukung kesetaraan gender.

“Pada saat (baru) didirikan pada 1886, delapan dari empat belas karyawannya yang pertama itu perempuan… Lalu, di 1976, itu ada tokoh namanya Nancy Lane. Beliau menjadi perempuan pertama sebagai wakil presiden di Johnson and Johnson global. Beliau adalah wanita Amerika Afrika pertama yang jadi vice president di perusahaan,” ungkap Devy sambil menjelaskan tentang Johnson and Johnson yang telah mendukung gender equality sejak ratusan tahun lalu.

Kemudian, WiSTEM2D adalah program yang mengajak perempuan serta remaja untuk berkontribusi dalam bidang kesehatan. Terakhir, ADA atau Alliance for Diversity Ability merupakan program terbaru yang dibentuk pada 2020 lalu.

Program ini berfokus untuk melatih kepemimpinan dari tiap orang dan budaya, sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Dalam beberapa kesempatan, program ADA juga mengadakan festival yang mengajak teman-teman difabel untuk terlibat aktif di dalamnya.

Menurut Devy, keanekaragaman di Johnson & Johnson adalah tentang perspektif unik. Melihat dunia dari sudut pandang yang unik dan berbeda, perspektif yang memberi kita ide, solusi dan strategi potensial pemecahan masalah. Dan Inklusi adalah tentang menciptakan rasa memiliki yang mendalam. Ini tentang budaya di mana Kita dihargai, ide kita didengar dan kita  memajukan budaya ini untuk semua orang.

“Misi kami adalah menjadikan keberagaman, kesetaraan dan inklusi sebagai cara kami berbisnis. Kami akan memajukan budaya kebersamaan kami di mana hati dan pikiran yang terbuka bergabung untuk melepaskan potensi dari gabungan orang-orang yang brilian, di seluruh bagian perusahaan Johnson & Johnson,” tandas Devy.

Mengenal Budaya Tuli

Pada momen kali ini Precious One berkesempatan memperkenalkan bahasa isyarat yang umum digunakan kelompok tuli di Indonesia, yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dipandu oleh Muhammad Andika Panji, S.H. selaku tutor Tuli dari tim Parakerja. Panji pun mengenalkan sekilas tentang perbedaan BISINDO dengan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) maupun Bahasa Isyarat Amerika atau American Sign Language (ASL).

Panji, mengatakan masyarakat non-disabilitas yang ingin mempelajari bahasa isyarat alangkah lebih baik dapat belajar langsung dengan komunitas tuli dan bukan dengan orang dengan pendengaran normal guna menghindari kesalahpahaman.

“Kenapa, sih, kalau belajar harus belajar sama teman-teman tuli langsung? Karena itu termasuk ke dalam budaya tuli, dan bahasa ibunya dari teman tuli,” kata Panji melalui penerjemah bahasa isyarat.

Sebagai bentuk pemahaman, disabilitas memiliki ragam mulai dari fisik, intelektual, mental, hingga sensorik. Masing-masing ragam itu pun juga terdapat variasi-variasi lain. Panji mencontohkan bahwa disabilitas tuli memiliki variasi, beberapa orang ada yang tuli total, tuli separuh, tuli yang menggunakan implan, serta tuli yang bisa berbicara secara verbal.

Menurut Panji, kebanyakan orang berpikir kata Tuli adalah istilah yang kasar jika digunakan pada orang disabilitas dan lebih memilih menggunakan kata Tunarungu. Padahal, kenyataannya tidak demikian. Panji mengingatkan bahwa komunitas tuli lebih nyaman ketika masyarakat umum dapat menyebut mereka sebagai ‘tuli’ alih-alih ‘tuna rungu’. 

Dia menjelaskan bahwa kata ‘tuli’ menunjukkan identitas dan budaya bagi komunitas, sementara kata ‘tuna rungu’ merupakan istilah dari perspektif medis. “Tuna rungu adalah istilah medis yang berarti kami adalah orang dengan pendengaran yang rusak. Karena pendengaran kami rusak, kami dianggap harus diperbaiki telinganya. Seperti menggunakan ABD, koklea implan, atau pun operasi untuk menyembuhkan kami. Sedangkan, Tuli adalah budaya dan identitas kami,” jelas salah satu aktivis tuli itu.

Panji mengatakan, “Kami berharap masyarakat bisa menghormati, mengakui, dan melindungi teman-teman disabilitas termasuk juga teman tuli. Kami bangga sebagai Tuli, identitas kami. Kami juga mampu hidup berdampingan dengan orang-orang dengar, melalui bahasa isyarat. Kuncinya, sama-sama belajar, menghargai, dan sama-sama memperjuangkan inklusivitas.”

Sementara itu, Pendiri Precious One, Ratnawati, memandang masyarakat di masa sekarang sebetulnya sudah jauh lebih baik untuk dapat menerima keberadaan penyandang disabilitas. Walaupun demikian, Ratna tetap berharap agar masyarakat Indonesia dapat terus menghargai dan memahami kehidupan teman disabilitas, apalagi saat ini sudah banyak pihak yang turut mengupayakan edukasi dan kesadaran di setiap peringatan Hari Disabilitas.

Ia juga berpesan agar masyarakat ataupun pihak lain yang selama ini berkecimpung di dunia disabilitas untuk jangan menyerah dalam memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas. Ratna mengatakan, “Jangan berhenti untuk memperjuangkan hal yang baik yang sudah pernah dilakukan untuk teman disabilitas, dan itu terus dijaga, bahkan bisa terus berkembang.” (Anj)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *