Depresi Dapat Dikelola Dan Diobati

Health
Ilustrasi depresi

Anjanesia.com – Sekitar satu dari delapan orang di dunia hidup dengan gangguan jiwa. Gangguan kecemasan dan gangguan depresi adalah yang paling umum pada pria dan wanita, demikian laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Bunuh diri mempengaruhi orang-orang dan keluarga mereka di semua negara sesuai konteksnya, dan pada semua usia. Secara global, mungkin ada 20 upaya bunuh diri untuk setiap satu kematian, namun bunuh diri menyumbang lebih dari satu dari setiap 100 kematian. Ini adalah penyebab utama kematian di kalangan anak muda.

Psikiater Dr Eva Suryani, Sp.KJ mengatakan bahwa kondisi penderita gangguan kesehatan jiwa, termasuk depresi dapat menjadi lebih buruk jika tak selekasnya ditangani. “Depresi itu seperti samudera biru yang dalam. Orang dengan depresi sering merasa seperti tenggelam di bawah ombak. Depresi juga datang pada berbagai tingkat kedalaman; semakin dalam depresinya, semakin gelap warnanya,” ujarnya dalam temu media virtual yang digelar Johnson & Johnson Indonesia sekaligus menandai peluncuran kampanye #MoreThanBlue untuk Meningkatkan Kesadaran Tentang Depresi dan Menekankan Pentingnya Mencari Pengobatan, baru-baru ini.

Eva menambahkan, orang harus menyadari bahwa memahami kondisi dan gejalanya dapat membantu pasien. “Ketidakseimbangan kimia dapat menyebabkan depresi, namun depresi dapat dikelola dan diobati oleh tenaga kesehatan profesional,” tuturnya.

Sangat disayangkan bahwa kesehatan jiwa memiliki prioritas rendah di negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Membangun basis pengetahuan kesehatan jiwa, termasuk depresi, di negara-negara Asia Tenggara merupakan salah satu prioritas terendah saat ini. 

Yang tak kalah menyedihkan, depresi juga tidak dipahami dengan baik di Asia Tenggara, stigma dan kesadaran yang rendah menghambat akses pasien terhadap pengobatan. Akibatnya, pasien terus-menerus merasa frustrasi dan tidak berdaya. 

Selain itu, kurangnya pemahaman akan perbedaan tentang jenis depresi di antara pasien, perawat, dan profesional medis umum pada akhirnya membuat gejala dan pengalaman sering dianggap sama untuk setiap penderita. “Depresi itu seperti samudera dan lautan biru yang sangat luas, semakin dalam kita masuki akan semakin gelap, dan semakin dekat ke permukaan akan ada peluang lebih baik untuk bertahan hidup,” terang Eva.

Gangguan depresi mempengaruhi 86 juta orang di Asia Tenggara dan itu hanyalah puncak gunung es dari pasien yang sadar dan paham akan depresi. Pada umumnya, orang mengira mereka tahu tentang depresi, tetapi mereka tidak memahaminya. 

Penanganan depresi saat ini di Asia baru menyentuh puncak gunung es. Bahkan, terdapat stigma sosial seputar depresi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dimana masyarakat terus menstigmatisasi (memberikan stigma negatif) orang dengan depresi karena alasan budaya, agama, atau profesional. Hal ini dapat menyebabkan pasien merasa malu, minder dan merasa tidak diterima.

Di Indonesia, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan jiwa emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi. 

Devy Yheanne, Country Leader of Communications & Public Affairs for Johnson & Johnson Pharmaceutical in Indonesia & Malaysia mengatakan pentingnya  menghilangkan stigma terhadap depresi di Indonesia.” Ini adalah kondisi yang dapat diobati, terutama ketika orang dapat mengenali gejalanya sejak dini dan mencari pengobatan jika diperlukan,” tuturnya. 

Kampanye #MoreThanBlue membahas masalah ini dan mendorong masyarakat untuk memahami penyebab, gejala, dan mendapatkan bantuan yang sangat dibutuhkan dari para ahli.. “Meningkatkan kesadaran tentang depresi adalah salah satu langkah pertama untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan,” tandas Devy.

Devy menambahkan, kampanye Edukasi Tentang Depresi #MoreThanBlue Johnson & Johnson, di tingkat global telah berdedikasi untuk meningkatkan tingkat kesembuhan penderita gangguan jiwa selama lebih dari 60 tahun. Bahkan selama lebih dari setengah abad terakhir, Janssen Pharmaceutical Companies of Johnson & Johnson telah menemukan, mengembangkan, dan meluncurkan banyak pengobatan inovatif untuk kondisi yang mempengaruhi otak dan sistem saraf pusat. 

Desy mengatakan, “Johnson & Johnson juga memperluas akses ke perawatan kesehatan mental untuk populasi yang paling rentan dan kurang terlayani di dunia, dimulai di Rwanda. Selain itu, perusahaan juga mendukung program kesehatan mental yang menyediakan sumber daya untuk mendukung petugas kesehatan garis depan di seluruh dunia.” (Anj) (ilistrasi Net)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *