Tingkatkan Kualitas Hidup Penyintas Kanker Payudara Dengan Rekonstruksi Payudara
HealthAnjanesia.com – Payudara merupakan salah satu mahkota penting bagi wanita. Seorang wanita terkena kanker payudara, tentunya akan mengalami kepedihan yang berkepanjangan, tak hanya secara fisik, melainkan juga secara psikologis. Penanganan kanker payudara yang terbaik adalah dengan tindakan operasi, yang jenisnya tergantung pada kondisi pasien saat pertama kali datang ke dokter.
Wanita yang didiagnosis kanker payudara, ada yang harus menjalani mastektomi, yaitu operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara, guna mencegah sel kanker menyebar ke bagian lain. Untuk kasus mastektomi ini, wanita dapat kehilangan payudara dan putingnya. Pada sebagian orang, hal ini bisa menimbulkan rasa tidak percaya diri karena bentuk payudaranya menjadi berbeda.
Bagi yang menginginkan ‘penampilan payudara utuh’ maka operasi rekonstruksi payudara bisa dilakukan oleh ahli bedah. Disampaikan dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi RS Pondok Indah, dr. Mohamad Rachadian Ramadan SpBPRE, SubSpMO(K), pasien kanker payudara bisa melakukan operasi rekonstruksi payudara untuk ‘mengembalikan’ payudara yang ‘hilang’ akibat tindakan pembedahan.
“Sebagai wanita wajar jika merasa tidak utuh setelah tindakan pembedahan payudara. Operasi rekonstruksi bisa menjadi pilihan bagi pasien kanker payudara yang menjalani mastektomi untuk meningkatkan kualitas hidup,” ujarnya dalam temu media yang dihelat RSPI Pondok Indah di Jakarta, baru-baru ini.
Rachadian mengatakan, meski bertujuan baik yakni mencegah penyebaran sel kanker ke organ lain, namun mastektomi bisa menimbulkan ‘masalah’ lainnya, misalnya tidak nyaman saat berhubungan seksual dan ketika berolahraga, menurunkan rasa percaya diri pasien, menimbulkan rasa nyeri terutama jika tidur telungkup serta menyulitkan mereka dalam memilih pakaian.
Di Indonesia, sebut Rachadian, masih belum banyak orang tahu rekonstruksi setelah pengangkatan payudara. “Di Indonesia sendiri belum ada hukum yang mengatur soal itu, beda dengan di Amerika Serikat di mana kalau orang melakukan pengangkatan payudara mereka bisa rekonstruksi payudara, dan ada asuransi yang menanggungnya,” jelasnya.
Setelah dilakukan mastektomi oleh tim onkologi, terapi akan dilanjutkan dengan operasi rekonstruksi oleh tim bedah plastik untuk mengembalikan rasa percaya diri pasien dan mengurangi trauma secara psikologis. Hal ini diperlukan agar pasien tetap merasa menjadi wanita seutuhnya dan dapat memakai pakaian seperti semula.
Subspesialis bedah mikro rekonstruksi dan onkoplasti itu menambahkan, rekonstruksi payudara merupakan bagian dari operasi bedah plastik untuk mengembalikan bentuk, ukuran dan tampilan payudara. Tujuan rekonstruksi payudara adalah menghasilkan payudara yang tampak sinetris dan natural, dengan mengutamakan keselamatan dan kualitas hidup pasien.
Bedah rekonstruksi bisa dilakukan setelah operasi pengangkatan payudara atau diberi jeda beberapa bulan setelah seluruh pengobatan kanker selesai.
Teknologi Rekonstruksi
Bedah rekonstuksi sudah berkembang cukup lama di dunia. Secara umum terdapat dua pilihan, yaitu menggunakan jaringan tubuh pasien sendiri (flap) dan juga implan. “Pilihannya tentu ada di tangan pasien dan juga sesuai dengan kebutuhannya. Perlu dikonsultasikan dengan dokter untuk rencana rekonstruksi payudara sebelum melakukan operasi mastektomi,” tandas Rachadian.
Ditegaskan Rachadian, setiap pasien memerlukan konsultasi dan perencanaan yang baik sebelum menentukan tindakan rekonstruksi yang akan dilakukan. Stadium kanker payudara juga mempengaruhi pilihan ekonstruksi, karena makin lanjut stadium kanker payudara tidak hanya memerlukan operasi, tetapi juga kemoterapi dan radiasi yang dapat mempengaruhi luka operasi.
“Rekonstruksi dengan implan menggunakan implan yang aman, bukan yang cair. Walau praktis, hasilnya natural, dan pemulihannya sangat cepat, tetapi implan yang dipasang harus diganti setiap 10-15 tahun,” kata Rachadian.
Selain itu, karena implan merupakan benda asing, terkadang ada reaksi penolakan dari tubuh pasien. Risiko infeksi juga bisa timbul, walau menurut Rachadian, dengan pengerjaan di rumah sakit yang steril serta dokter spesialis yang berpengalaman, risiko itu bisa ditekan.
Pilihan rekonstruksi berikutnya adalah memakai jaringan tubuh, misalnya lemak dari paha dalam, bokong, atau pun perut, yang disebut dengan flap.
Terdapat beberapa jenis teknik flap atau rekonstruksi menggunakan jaringan dari anggota tubuh di bagian lain. Selain DIEP (deep inferior epigastric perforator) free flap, ada pula LD flap yang menggunakan donor otot, lemak, dan kulit dari punggung, serta tram flap yang memindahkan jaringan lemak, kulit, dan sedikit otot musculus rectus.
Dibanding LD flap dan tram flap, dokter yang menyelesaikan pendidikan spesialis bedah plastik di Universitas Indonesia itu menjelaskan bahwa DIEP free flap lebih unggul karena tidak perlu memindahkan otot dinding perut. Berbeda dengan tram flap, pada teknik itu otot yang diambil dapat menyebabkan kelemahan pada dinding perut sehingga akan sulit jika hamil atau melakukan olahraga yang membutuhkan dukungan otot perut.
Teknik DIEP free flap hanya memerlukan pengambilan pembuluh darah di bagian perut, di samping kulit dan lemak. Pembuluh darah yang menghidupi kulit dan lemak perut secara halus dipisahkan dan otot dinding perut dipertahankan.
Kemudian, pembuluh darah tersebut disambungkan ke pembuluh darah resipien sehingga kulit dan lemak dapat hidup di tempat yang baru atau di lokasi payudara bekas mastektomi.
“Pembuluh darah disambung menggunakan alat khusus, mikroskop khusus, dan perlu latihan khusus juga untuk melakukan ini. Dia (pembuluh darah) bisa menyebabkan kulit dan lemak yang dipindahkan ini hidup,” terang Rachadian.
Dibanding dengan jenis rekonstruksi lain seperti implan, DIEP flap dnilai lebih unggul. Hasil rekonstruksi tenik flap akan melekat seperti payudara mendekati normal sepanjang hidup, sementara implan harus diganti setiap 10 hingga 15 tahun sekali.
Rachardian menilai teknik operasi DIEP free flap merupakan salah satu jenis rekonstruksi payudara yang menjadi standar terkini dunia medis global untuk pasien kanker payudara sebab dinilai minim kelemahan.
“Seluruh dunia sudah menganut ini, DIEP free flap. Sehingga kita sebut sebagai gol standar dari rekonstruksi payudara,” ujarnya.
Walau payudara hasil rekonstruksi memiliki bentuk dan volume mendekati normal, penderita kanker pascamastektomi radikal yang menjalani opsi ini tentu tetap akan kehilangan fungsi menyusui.
Setelah melakukan rekonstruksi flap, sensitivitas masih dimungkinkan apabila kulit payudara asli masih dipertahankan atau bukan mastektomi radikal. Jika tidak, opsi lain bisa dipilih dengan mengambil kabel saraf dari orang yang meninggal atau dari tubuh sendiri untuk disambungkan ke flap dan resipien saraf di dada.
“Jadi, dia berasa, bisa sensitif lagi secara sensori,” ujar Rachadian.
Meski secara biaya lebih mahal dua hingga tiga kali lipat dibanding rekonstruksi implan, Rachadian mengatakan DIEP free flap cukup menguntungkan karena tidak memerlukan operasi tambahan dalam jangka panjang.
“Memang flap di depan lebih mahal, tapi, kalau dilihat, ada keuntungan kelebihan. Meskipun lebih cepat (durasi operasi) implan, secara long run ke belakangnya dia (implan) biayanya akan lebih banyak,” katanya.
Menurut Rachadian, masih sedikit dokter ahli yang dapat menangani teknik DIEP free flap di Indonesia. Ketika pasien hendak memutuskan melakukan DIEP flap atau rekonstruksi lainnya, sangat dianjurkan untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan ahli bedah mikro rekonstruksi yang berpengalaman.
Konsultasi sebaiknya dilakukan sebelum operasi pengangkatan kanker. “Pilihannya tentu ada di tangan pasien dan juga sesuai dengan kebutuhannya. Semua perlu dikonsultasikan dengan dokter sebelum melakukan operasi mastektomi,” katanya.
Dia menegaskan bahwa tindakan bedah rekonstruksi payudara merupakan tindakan yang melibatkan dokter multi disiplin, termasuk pasien itu sendiri. “Pasien tentu harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan perencanaan terapi karena pasien yang memiliki tubuh tersebut. Pelibatan ini juga akan meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan,” tegasnya.
Puting Masih Bisa Sensitif?
Mastektomi bisa mengangkat sebagian atau seluruh bagian payudara. Jika yang diangkat adalah seluruhnya termasuk puting, rekonstruksi payudara bisa membentuk puting baru. Baik dengan mengambil sebagian sisi puting yang sehat, cangkok kulit, atau dengan tato.
“Operasi rekonstruksi ini ada tahapannya. Tergantung apa yang hilang. Kalau yang hilang payudaranya itu yang diganti. Tapi apabila diambil payudara saat mastektomi, itu tidak ada lagi putingnya. Itu baiknya juga dibentuk putingnya,” jelas Rachardian.
Ia menambahkan, “Bisa diambil dari sebagian sisi puting yang sehat, atau bisa juga dibentuk mengambil kulit (cangkok kulit), atau terakhir dengan tato. Dibuat tato menyerupai nipple yang masih sehat. Sebaiknya sih rekonstruksi untuk pasien-pasien itu tidak hanya payudara tapi putingnya juga. Jadi secara keseluruhan.”
Apakah puting baru bakal sensitif seperti pada payudara sebelum diangkat karena kanker? Pada beberapa kasus, rekonstruksi payudara bukan hanya membentuk payudara, juga mengembalikan fungsi sensitivitas.
Meski ada faktor saraf dan kemoterapi sebagai penentu kembali sensitivitas, Rachardian menyebut pada metode operasi yang sudah berkembang, besar potensi sensitivitas puting bisa dibentuk kembali.
“Sebetulnya untuk sensitivitas itu dipengaruhi oleh banyak hal. Pada Saat mengangkat payudara mau tidak mau ada pengaruhnya juga saraf-sarafnya ikut hilang. Kedua untuk pasien-pasien yang ada terapi adjuvan seperti kemoterapi juga berpengaruh pada sistem sarafnya.”
Walau upaya rekonstruksi hanya mampu mendekati normal, Rachadian mengatakan kebanyakan pasien yang dia tangani sudah merasa lebih baik secara psikis, mereka lebih percaya diri ketika bersosialisasi ataupun lebih nyaman saat berhubungan seksual dengan pasangan.
Bentuk, tampilan, dan ukuran payudara bisa direkonstruksi, akan tetapi fungsi menyusui tidak bisa didapatkan mengingat kelenjar payudara telah diangkat saat pasien kanker menjalani operasi mastektomi. (Anj)