Teknologi PFA Jadi Harapan Baru Atasi Gangguan Irama Jantung
Health
Anjanesia.com – Teknologi pulsed-field ablation (PFA) banyak digunakan di seluruh dunia untuk pengobatan fibrilasi atrium, jenis gangguan irama jantung atau aritmia yang banyak diderita masyarakat Indonesia.
Heartology Cardiovascular Hospital tercatat menjadi rumah sakit pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi Pulsed Field Ablation (PFA) dalam tatalaksana fibrilasi atrium (FA).
Direktur Heartology Cardiovascular Hospital, Dr. dr. Faris Basalamah, Sp.JP(K), mengatakan, “PFA memiliki keunggulan dibandingkan teknologi ablasi yang sebelumnya dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi dengan nilai keampuhan pengobatan setara terhadap pasien atrial fibrilasi yang persisten maupun non-persisten.”
Dia menekankan keberhasilan tindakan ablasi PFA tidak hanya terletak pada teknologi, tetapi juga kerja sama tim yang solid antara dokter, tenaga medis, dan seluruh pihak yang terlibat.
PFA merupakan inovasi mutakhir dalam dunia kardiologi yang membawa pendekatan baru pada tatalaksana fibrilasi atrium.
Menurut dr. Sunu Budhi Raharjo, Sp.JP(K), PhD, konsultan aritmia di Heartology, PFA sudah dilakukan di luar negeri dalam beberapa tahun. “Namun di Indonesia baru dilakukan kali pertama pada pasien berusia 65 tahun asal Sumatera Barat yang terdiagnosis fibrilasi atrium. Tindakan PFA dilakukan 28 Desember 2024 di Heartology,” ujar dr Sunu dalam temu media di Heartology Cardiovascular Hospital, Jakarta, Selasa (8/1).

Pasien tersebut telah lama mengalami gangguan irama jantung (aritmia) dengan keluhan berupa berdebar, dada tidak nyaman dan mudah lelah.
Dikatakan, pasien telah menjalani pengobatan fibrilasi atrium di daerah asalnya selama beberapa tahun, namun aritmianya belum sembuh. Akhirnya dia memutuskan mencari solusi lebih lanjut dan dirujuk oleh dokternya ke Heartology.
Dari pemeriksaan intensif, diputuskan untuk dilakukan tindakan PFA pada pasien yang telah lama terdiagnosis fibrilasi atrium yang tidak merespon obat.
Menurut dr. Sunu, PFA merupakan salah satu kategori kateter ablasi (tindakan invasif minimal tanpa bedah) non-thermal yang bekerja melalui proses electroporation, yaitu pengiriman gelombang listrik pendek yang membuka pori-pori membran sel sehingga jaringan yang ditargetkan dapat dihancurkan dengan aman tanpa mempengaruhi jaringan lainnya.
Tatalaksana PFA berbeda dengan ablasi thermalyang menggunakan energi radio frekuensi, yaitu energi panas untuk menciptakan lesi, atau energi krio yang menggunakan energi dingin untuk membekukan jaringan.
“Karena sifat terapinya yang selektif seperti ini, maka tindakan ablasi dengan PFA lebih cepat, lebih efektif dan lebih aman bagi pasien,” terang pakar aritmia yang juga menjabat sebagai ketua Perhimpunan Aritmia Indonesia (Peritmi).
Butuh waktu sekitar satu jam untuk melakukan tindakan PFA dibandingkan ablasi thermal yang memerlukan waktu lebih lama, yakni sekira 3-4 jam.
Setelah dilakukan tindakan PFA, sebut dr. Sunu, pasien merasakan lebih nyaman. “Nyaman memang subjektif. Namun dari catatan EKG ‘kekacauan’ detak itu sudah tidak ada lagi. Denyutnya normal, sudah berdetak teratur. Setelah PFA diketahui kekuatan memompa sudah teratur,” terang dr. Sunu.
Tak berlebihan kiranya jika dikatakan teknologi PFA dalam pengobatan fibrilasi atrium merupakan sebuah game changer.
“PFA itu game changer dalam pengobatan fibrilasi atrium. Teknologi ini tidak hanya lebih aman dibandingkan metode ablasi konvensional, tetapi juga mempercepat waktu prosedur dan pemulihan pasien. Ini berarti pasien dapat kembali menjalani aktivitas dengan lebih cepat dan risiko komplikasi yang lebih rendah,” urai dr. Sunu.
Kelebihan lain tindakan PFA untuk menangani fibrilasi atrium, menurut dr. Sunu, lebih bisa diulang lagi dengan hasil kurang lebih sama dibandingkan ablasi thermal. “PFA lebih mudah dilakukan, dan pasien lebih nyaman,” ujarnya.
Teknologi PFA sejauh ini hanya dilakukan untuk mengatasi fibrilasi atrium, dan belum bisa diterapkan pada jenis aritmia lainnya, sebut dr. Sunu seraya menambahkan ablasi thermal masih digunakan dengan energi panas untuk mengatasi denyut tambahan hanya satu atau dua titik.
Hasil jangka panjang PFA
Terkait hasil jangka panjang, dr. Sunu menyebut tindakan PFA untuk mengatasi fibrilasi atrium berdasar hasil yang sudah dilakukan di luar negeri menunjukkan angka keberhasilan 84 hingga 85 persen dalam dalam periode satu tahun tetap normal.
Namun demikian, tidak ada yang bisa menjamin irama jantung yang ‘kacau’ itu tidak kembali lagi pasca tindakan ablasi.
“Faktor risiko untuk aritmia itu banyak, di antaranya penyakit jantung koroner, diabetes dan sebagainya. Kembalinya aritmia tergantung lifestyle pasien itu sendiri. Makin tidak terkontrol, maka peluang kembalinya fibrilasi atrium juga akan meningkat,” terang Dr. dr. Dicky Armein Hanafy, Sp.JP(K), ahli aritmia yang berpraktik di Heartology Cardiovascular Hospital, di kesempatan sama.
“Makanya setelah tindakan ablasi pola hidup harus diperbaiki,” imbuhnya.
Aritmia bisa terjadi karena berbagai faktor, termasuk kelainan struktur jantung, tekanan darah tinggi, gangguan tiroid, atau bahkan efek samping obat-obatan tertentu.
Gejala aritmia yang sering dikeluhkan antara lain jantung berdebar (palpitasi), pusing, nyeri dada, atau mudah lelah. Makanya, penting untuk melakukan deteksi dini, yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan seperti elektrokardiogram (EKG) atau monitor jantung Holter yang dapat membantu mendiagnosis aritmia sejak awal sehingga pengobatan bisa lebih efektif.
Untuk mendeteksi aritmia sejak dini secara mandiri, dr. Faris menyarankan dengan meraba nadi sendiri (menari), atau yang lebih praktis menggunakan smartwatch yang memang dilengkapi teknologi yang dapat mendeteksi fibrilasi atrium.Smartwatch itu sudah ada algoritma yang bisa rekam EKG bisa mendeteksi fibrilasi atrium. Jika ada gangguan detak, segera kunjungi dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut,” tutur dr. Faris.
“Smartwatch itu sudah ada algoritma yang bisa rekam EKG bisa mendeteksi fibrilasi atrium. Jika ada gangguan detak, segera kunjungi dokter untuk pemeriksaan lebih lanjut,” tutur dr. Faris.
Tingkatkan kesadaran aritmia
Lebih lanjut dr. Dicky menambahkan, tim spesialis aritmia juga aktif melakukan edukasi kepada awam dan medis (bukan dokter jantung) terkait aritmia. “Juga ada kampanye soal kesadaran aritmia mendekati World Heart Day,” tandasnya.
Untuk diketahui, penyakit jantung merupakan penyebab utama kematian di Indonesia. Selain penyakit jantung koroner, gangguan irama jantung (aritmia) juga memberi kontribusi yang signifikan.
Aritmia yang paling banyak ditemukan di masyarakat adalah fibrilasi atrium. Diperkirakan jumlah penderita FA di Indonesia mencapai lebih dari tiga juta penduduk, dengan prevalensi yang meningkat
dengan semakin bertambahnya usia.

Fibrilasi atrium adalah kondisi ketika serambi (atrium) jantung berdenyut sangat cepat dan tidak beraturan.
Normalnya, jantung akan berdenyut sekitar 60-100 kali per menit saat kita sedang santai, namun pada FA, serambi jantung bisa berdenyut lebih dari 400 kali per menit.
Kondisi ini meningkatkan risiko terjadinya penggumpalan darah dan gagal jantung. Penggumpalan darah yang terbentuk dapat mengakibatkan terjadinya stroke.
Pasien fibrilasi atrium mempunyai risiko 4-5 kali lipat terjadinya stroke dibanding pasien bukan FA.
Selain itu, denyut serambi jantung yang super cepat dan tidak teratur meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung dan berpotensi meningkatkan mortalitas/kematian pasien FA.
Hadirnya teknologi kateter ablasi dapat memperpanjang usia pasien fibrilasi atrium yang tidak lagi bisa ditangani dengan obat. (Anj)